AL-ANWA’ AL-KALIMAH WA AL-JUMLAH
A. Pendahuluan
Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa mayor didunia yang memiliki penutur yang sangat besar. Sejak bahasa Arab yang tertuang dalam al-Qurandidengungkan hingga kini, semua pengamat baik Barat maupun orang muslim Arab menganggapnya sebagai bahasa yang memiliki standar ketinggian dan keelokan linguistik yang tertinggi yang tiada taranya (the supreme standard of linguistic excellence and beauty).
Sebagai bahasa al-Qur’an, bahasa Arab memiliki signifikansi yang sangat besar bagi kaum muslimin, baik yang berkebangsaan Arab maupun maupun non Arab. Hal ini menjadi wajar karena al-Quranmerupakan kitab suci dan tuntunan bagi kaum muslimin. Disamping itu, juga menjadi bahasa hadith dan kitab-kitab yang membahas ilmu-ilmu agama islam. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa bahasa Arab merupakan bahasa orang Arab dan sekaligus juga merupakan bahasa orang Islam, meskipun pada realitasnya tidak sedikit penutur bahasa ini yang bukan pemeluk agama Islam.
Sejarah perkembangan agama samawi/agama wahyu mencatat bahwa tidak ada kitab suci yang bahasanya masih asli kecuali al-Qur’an. Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan dalam dua periode yaitu periode Makkah dan Madinah, masih tetap dalam bahasa aslinya. Setiap terjemahan al-Quran atau alih bahasa dari bahasa Arab atau tafsirannya tidak dapat disebut al-Qur’an, akan tetapi dikatakan sebagai terjemahan atau tafsir al-Qur’an. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tidak ada al-Qurandidunia ini dengan bahasa lain kecuali bahasa Arab. Maka memperlajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci al-Quranbagi ummat Islam didunia ini merupakan kebutuhan yang sangat utama. [1]
Disamping itu, mempelajarinya berarti memperdalam ajaran agama Islam dari sumbernya yang asli. Bahasa-bahasa lain termasuk bahasa Indonesia tidak dapat diandalkan untuk memberikan kepastian arti yang tersurat dan tersirat dari makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Al-Quranditurunkan dalam bahasa Arab yang mubin, maka kaedah-kaedah yang diperlukan dalam dalam memahami al-Quranbersendi atas kaedah-kaedah bahasa Arab, memahami asas-asasnya, merasakan uslub-uslubnya, dan mengetahui rahasia-rahasianya.
Keunggulan bahasa Arab adalah terletak pada kekayaannya, pengertian-pengertian abstraknya, semantic precision (ketepatan makna), dan derivation (pembentukan kata turunan). Maka, bukanlah suatu kebetulan jika al-Quranditurunkan dalam bahasa Arab, tetapi justru karena kakayaan makna dan kesaksamaannya. Lalu, hal apa saja yang harus dipahami dalam usaha mempelajari bahasa Arab?. Makalah ini mencoba untuk mengelaborasi salah satu dasar dalam penguasaan bahasa Arab yaitu kalimat dan pembagiannya.
B. Pengertian Kalimat
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kalimat, perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud oleh penulis dengan kata kalimat dalam makalah ini tidaklah sama dengan kata kalimat dalam bahasa Indonesia. Kata kalimat yang dimaksud disini adalah sama dengan kata kalimat menurut definisi para ulama nahwu (Nuhhat) yang berarti kata. Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa kata kalimat dalam tulisan ini juga berarti sama dengan kata kalam.
Menurut Amiruddin, kalam dapat didefinisikan sebagaimana berikut:
اَلْكَلَامُ : هو اَللَّفْظُ اَلْمُرَكَّبُ, اَلْمُفِيدُ بِالْوَضْعِ وَأَقْسَامُهُ ثَلَاثَةٌ : اسم وَفِعْلٌ وَحَرْفٌ جَاءَ لِمَعْنًى
Artinya: “Kalam adalah ucapan yang tersusun sehingga pendengar memahami maksudnya. Sesuai dengan objek pembicaraannya, maka ucapan tersebut harus dalam bahasa Arab, yang terbagi dalam tiga bagian yaitu: isim, fi’il dan huruf.”[2]
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu ucapan dapat disebut kala>m apabila memenuhi 4 (empat kriteria), yakni:
a. Diucapkan/dilafadzkan (مَلْفُوْظٌ ), yaitu :
الصَّوْت المُشْتَمِلُ على بَعْضِ الحُرُوفِ الهِجَائيةِ
“Suara yang melengkapi atas sebagian huruf hijaiyah”
b. Disusun ( مُرَكَّبٌ ), yaitu :
مَا تَرَكَّبَ مِنْ كَلِمَتَيْنِ فــاكْثَرَ
“sesuatu yang tersusun dari pada dua kalimat, maka seterusnya ( lebih dari pada dua, yaitu tiga kalimat, empat dan seterusnya)”
c. Difahami (مُفِيْدٌ ), yaitu:
ما أَفَادَ فائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوتُ مِن المُتَكَلِّمِ وَ السَّامِعِ عَلَيها
"Sesuatu yang memberikan faidah dengan sempurna yaitu sekiranya mutakallim (pembicara) dan pendengar diam (tidak memberikan tanggapan)".
Pada kriteria ini, saat Mutakallim (orang yang berbicara) menyebut sesuatu, maka terdiamlah si sami' (orang yang mendengar). Dalam artian orang yang mendengar mengerti atas apa yang diucapkan oleh orang yang berbicara, sehingga tidak menimbulkan pertanyaan terhadap apa yang di sampaikannya itu.
d. Berbahasa Arab ( وَضْعُ اْلعَرَبِيَّة);
Ada dua kemungkinan mengenai makna yang terkandung dari kata الوَضْع tersebut. Yang pertama adalah القَصْدُ artinya bahwa lafadz yang tersusun serta memberikan pengertian sempurna itu "dimaksudkan" oleh mutakallim, ada juga yang mengartikan bahwa الوَضْع itu maksudnya adalah الوَضْعُ العَرَبِيُّ artinya bahwa lafadz yang sudah tersusun dan memberikan pengertian sempurna tersebut sudah sesuai dengan wadlo (peletakan makna) yang telah ditetapkan oleh orang Arab. Yang kedua, Sesuatu yang sengaja diucapakan oleh orang yang berbicara. Dalam hal ini, orang yang lagi mengigau tidaklah termasuk dalam kalam. Sedangkan menurut ulama Nahwu bahwa kalam adalah:
وَاْلكلــِمَةُ : اللَّفْظُ اْلمُفِيْدُ اْلمُفْرَدُ. ¤ كَلاَمُهُمْ لَفْظٌ مُفِيْدٌ مُسْــــــنَدُ
Artinya:
“Kalam Menurut ulama Nahwu : adalah lafadz yang berfaedah serta dimusnadkan dengan lafadz yang lain. Dan Kalimah adalah lafadz mufid yang tunggal”.
C. Pembagian Kalimat
Kata dalam bahasa arab adalah الكلمة (al-kalimah). Sebagaimana dalam bahasa Indonesia, kata adalah gabungan yang terdiri dari huruf-huruf dan kata inilah yang akan membentuk sebuah kalimat. Maka dalam bahasa arab, الكلمة (al-kalimah) terdiri dari huruf-huruf hijaiyah, dan gabungan dari الكلمة inilah yang akan membentuk struktur kalimat yang dalam bahasa arab disebut sebagai الجملة (al-jumlah). Al-kalimah atau الْكَلِمَةِ adalah لَفْظٌ مُفْرَدٌ لَهُ مَعْنَى (lafazh tunggal yang mempunyai makna). Adapun yang dimaksud dengan لَفْظٌ adalah suara yang terdiri dari huruf hijaiyah. Karenanya semua kata yang bukan terdiri huruf hijaiyah bukanlah dinamakan الْكَلِمَةِ, sebagaimana kata yang tertulis tapi tidak terucapkan juga bukanlah sebuah الْكَلِمَةِ. Sementara maksud مُفْرَدٌ adalah terdiri dari satu kata.
Contoh: Bukuكــتاب : Membaca قــرأ :
Pada dasarnya, semua bahasa yang digunakan oleh ummat manusia didunia ini tersusun dari tiga komponen dasar yaitu:
1. Satuan bunyi yang disebut "huruf" atau "abjad".
Contoh: ج – ا – م – ع - ة
2. Susunan huruf yang memiliki arti tertentu yang disebut "kata".
Contoh: Kampus : جَامِــعَةٌ
3. Rangkaian kata yang mengandung pikiran yang lengkap yang disebut "kalimat".
Contoh: Saya belajar di Kampus : أَتَعَـــــلَّمُ فِي الْجــَـامِعَةِ
Dalam tata bahasa Arab, "kata" terbagi dalam tiga golongan besar, yaitu; Isim ( اِسْم ), Contoh: جَامِــعَةٌ (Kampus). Fi'il ( فِعْل ), Contoh: أَتَعَـــــلَّمُ (Saya belajar), dan Harf ( حَرْف ), Contoh: فِي (di, dalam). Pembagian ini didasarkan pada al-istiqra` (penelusuran) dan at-tatabbu’ (penelitian). Maksudnya ialah bahwa para ulama bahasa telah menelusuri dan meneliti semua kata-kata bahasa Arab, baik yang terdapat dalam al-Qur’an, hadith, maupun ucapan orang-orang Arab yang fasih, dan mereka menemukan semua kata itu tidak keluar dari 3 jenis pembagian tersebut.[3]
Untuk mendekatkan pemahaman, maka untuk sementara kita menafsirkan اَلْاِسْمُ sebagai kata benda, اَلْفِعْلُ sebagai kata kerja, dan حَرْفُ sebagai kata keterangan. Dalam mempelajari bahasa Arab, membedakan antara ketiga jenis الْكَلِمَةِ ini adalah suatu keharusan agar tidak terjadi kerancuan dalam menerapkan kaidah. اَلْاِسْمُ mempunyai kaidah-kaidah nahwu sendiri, اَلْفِعْلُ mempunyai kaidah-kaidah nahwu sendiri, dan demikian pula dengan حــرف . Karenanya, sangat penting bagi seorang yang belajar nahwu untuk bisa membedakan ketiganya, agar kaidah اَلْاِسْمُ tidak diterapkan di اَلْفِعْلُ dan demikian pula sebaliknya, karena hal itu akan menimbulkan kesalahan besar dalam membaca dan memahami suatu الجملة.
1) الإســــم (isim/kata benda)
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Isim adalah semua jenis kata benda atau segala sesuatu yang dikategorikan benda; baik benda mati maupun benda hidup, tanpa berkaitan dengan masalah waktu. Dalam kalimat yang senada, Fuad Ni’mah menguraikan definisi Isim sebagai berikut:
اَلْإِسْمُ هُوَ كُلُّ كَلِمَـــةٍ تَــدُلُّ عَلَى إِنْسَـــانٍ أَوْ حَيَـــــوَانٍ أَوْ نَبَــــاتٍ أَوْ جَمــــاَدٍ أَوْ مَـــــكاَنٍ أَوْ زَمــــاَنٍ أوْ صِفَـــةٍ أومَعْــنىً مُجَرَّدٍ مِنَ الزَّمـَــانِ.
Artinya:“Isim ialah setiap kata yang menunjukkan nama orang,hewan, tumbuhan, benda, tempat, waktu, dan sifat yang tidak terikat oleh waktu.”
Contoh:
a. Nama orang, seperti: أَرْمـَـان (Arman), فَاطِمَة (Fatimah),فرحــان (Farhan), عارفة (Arifah), مسلمـــة(Muslimah), عزيزة (Azizah), يو سف (Yusuf), dan lain-lain.
b. Nama binatang, seperti: سَمَكٌ (ikan), جَامُوْسٌ (kerbau), فَأْرٌ (tikus), dan lain-lain.
c. Nama tumbuhan, seperti: فِلْفِلٌ (cabe), خُضَرٌ (sayuran), موزٌ (pisang), dan lain-lain.
d. Nama benda, seperti: مَحْفَظَةٌ (tas), كِتَابٌ (buku), قَلَمٌ (pulpen), مِمْسَحَة (penghapus),مِسْطَرَةٌ (penggaris), dan lain-lain.
e. Nama tempat, seperti: حَمَّامٌ (toilet), فَصْلٌ (kelas),غُرْفَةٌ (kamar), مَدْرَسَةٌ (sekolah),مَكْتَبَةٌ (perpustakaan), dan lain-lain.
f. Nama gelar, seperti:مُهَنْدِسٌ (insinyur), دُكْتُوْرٌ (Doktor), مُدِيْرٌ مَدْرَسَةٌ (Kepala Sekolah), رَئِسْ (ketua), dan lain-lain.
g. Nama kota, seperti:مَدِيْنَةُ اْلَمُنَوَّرَةِ (Madinah Munawarah), مِصْرٌ (Mesir), سُوْكَابُوْمِىْ (Sukabumi), جَاكَرْتَا (Jakarta), نُــوْنُــوْ (Nunu), dan lain-lain.
h. Nama negara, seperti:اَمْرِيْكًا (Amerika), اِنْدُوْنِيْسِيَّ (Indonesia), عَرَبٌ سَعُوْدِيٌّ (Arab Saudi), فَلِيْستِيْنَا (Palestina), dan lain-lain.
Dalam sebuah struktur jumlah, dimana isim masuk didalamnya, maka ia dapat dikenali dengan ciri-ciri berikut:
a. Berakhiran kasroh, seperti أنا في البَيْتِ, kata البيتِ adalah isim. Isim dapat berakhiran kasrah, antara lain disebabkan oleh huruf-huruf khafadh dan huruf qasam (sumpah).
وَحُرُوفِ اَلْخَفْضِ, وَهِيَ مِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي , وَرُبَّ, وَالْبَاءُ, وَالْكَافُ, وَاللَّامُ
“Adapun huruf khafadh ialah: huruf mi>m (dari), huruf ila> (ke/kepada/sampai), huruf 'an (daripada), huruf 'ala> (atas), huruf fi> (pada/didalam), huruf rubb (berapa banyak) huruf ba (dengan), huruf ka>f (seperti), huruf la>m (untuk/bagi/milik).”
وَحُرُوفُ اَلْقَسَمِ, وَهِيَ اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاءُ
“Adapun huruf qasam (sumpah) adalah: Huruf waw (Demi), Huruf ba (Demi), dan Huruf ta (Demi)”.
b. Berakhiran tanwin, seperti رأيتُ رَجُلاً, kata رجــلاً merupakan isim.
c. Diawali dengan alim lam, seperti الشمسُ شرقَتْ, kata الشمسُ adalah isim karena ia diawali dengan alif lam.
d. Di dahului huruf jar(kata depan), seperti نَظَرْتُ إلى السماء, karena إلى merupakan huruf jar, maka kata setelahnya yaitu السماء adalah isim.
e. Di dahului huruf nida’, seperti يا رمحمـــدُ , kata محمــد merupakan isim, karena ia didahului oleh huruf nida, yaitu يا .
2) الفـعــــــل (kata kerja).
Secara sederhana fi’il berarti setiap kata yang menunjukan pekerjaan pada waktu tertentu. Definisi lain menyebutkan bahwa fi’il adalah kata yang menunjukkan suatu makna yang berkaitan dengan suatu waktu (lampau, sekarang, dan yang akan datang).
اَلْفِــعْــلُ هُوَ كُلُّ كَلِمَـــةٍ تَـــــدُلُّ عَلَى حُــدُوْثِ شَيْئٍ فِى زَمَنٍ خَاصٍ.
Artinya: “fi’il adalah setiap kata yang menunjukkan kejadian suatu peristiwa pada waktu tertentu.”
ذَهَبَ - يَذْهَبُ = Pergi, berangkat, دَخَلَ - بَدْخُلُ = Masuk
جَلَسَ - يَجْلِسُ = Duduk تَعَلَّمَ - يَتَعَلَّمُ = Belajar
كَتَبَ - يَكْتُبُ = Menulis جَرَى - يَجْرِى = Berlari
Kalimat fi’il dapat terbentuk antara lain karena bertemunya dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Bertemu dengan ta’ fa>’il, seperti: شَكَــرْتَ, كَـتَبْــتُ
b. Bertemu dengan ta’ ta’nits, seperti: شَكَــرَتْ, تَشْــكُرُ
c. Bertemu dengan ya> mukho>thobah, seperti: تَشْــكُـــرِيْنَ, اُشْـكُرِى
d. Bertemu dengan nu>n tawki>d, seperti: لِـيَــــكْتُبَنَّ, اُشْــكُرَنَّ
Disamping itu, fi’il juga dapat diketahui sebagimana definisi dibawah ini:
.وَالْفِعْلُ يُعْرَفُ بِقَدْ, وَالسِّينِ وَسَوْفَ وَتَاءِ اَلتَّأْنِيثِ اَلسَّاكِنَةِ
“Fi’il bisa di ketahui dengan adanya: qod (bawhasannya), si>n (nanti), saufa (nanti akan), ta’ ta'nits saki>nah ( pelaku perempuan).
3) الحــرف (kata keterangan).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa harf adalah kata yang tidak bisa dipahami maknanya kecuali jika disandingkan dengan kata lain. Dengan demikian, kata ini tidak akan kata memiliki makna tertentu, kecuali disandarkan pada kata-kata lain. Dengan makna yang serupa, definisi lain mengatakan, sebagai berikut:
اَلْحَــرْفُ هُوَ كُلُّ كَلِمَـــةٍ لَيْسَ لَهَا مَعْنىً إِلَّا مَعَ غَـيْرِهَا.
Artinya:“harf adalah setiap kata yang tidak mempunyai makna kecuali disandingkan dengan kata lain.”
Contoh:
Dariمِنْ : , dalam kalimat:
Saya keluar dari rumah اَنَا اَخْرُجُ مِنَ اْلبَيْتِ :
Keاِلىَ : , dalam kalimat:
Dia menyerahkan buku itu ke gurunya هُوَ بُسَلِّمُ اْلكِتَابَ اِلىَ اْلاُسْتَاذِ :
Dalamفِىْ : , dalam kalimat:
Anda membaca qr’an dalam Mesjid تَقْرَأُ اْلقُرْاَانَ فِىْ اْلمَسْجِدِ :
Dariعَنْ : , dalam kalimat:
يَسْأَلُ شَهِيْدٌ عَنِالشَّهْرِيَّةِ :
Huruf-huruf diatas akan memiliki makna yang dapat dipahami oleh pendengar atau lawan bicara saat ia disandingkan dengan kata-kata lain. Namun, saat ia berdiri sendiri tanpa disandingkan dengan kata-kata lain maka ia tidak akan memiliki makna sempurna yang dapat dipahami.
D. Jumlah
Jumlah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan susunan kalimat yang terdiri dari dua kata. Sebelum kita membahas Jumlah ismiyah lebih jauh ada baiknya kita bahas terlebih dahulu pengertian Al Ismu atau al Ismyah.
E. Pembagian Jumlah
1. Jumlah Ismiyah
Jumlah ismiyah adalah Setiap kalimat yang tersusun dari mubtada dan khabar dinamakan Jumlah ismiyah. Pendapat lain berpendapat :Selain itu Jumlah ismiyah merupakan susunan kalimat yang diawali dengan Isim (kata benda). Contoh: (المَسْجِدُ كَبِرٌ masjid itu besar) ( الدَارُ وَاسِعَةٌ rumah itu luas ) Dari contoh di atas lafaz al masjidu adalah mubtada’, dan lafaz kabiirun adalah khobar. Mubtada’ adalah Isim yang terletak di awal Jumlah yang di baca Rofa’. Khobar adalah Isim yang berfungsi untuk melengkapi mubtada’ agar menjadi kalimat yang sempurna atau dalam bahasa arab dikenal dengan al jumlah al mufidah, begitu pun contoh yang lainnya.
Al-Ismu adalah lafaz dalam bahasa arab yang menunjukkan makna suatu benda.Contoh: Muhammad, qolamun (pulpen), kirdun (kera). Di dalam Al Ismu terdapat tanda-tanda. Di antaranya adalah:[4]
a. Menerima AL
Contoh: Rumah (البيت) ,Papan tulis السبورة
b. Menerima tanwin
Contoh: kitabunbukuكتاب
c. Biasa di dahului oleh huruf jar.
Huruf jar yaitu (didalam) في, (ke) الي, (dari) من, ( عن, (diatas) علي, (seperti) الكاف, (dengan) الباء.
Contoh: (didalam masjid) في المسجد (ke rumah)الي بيت ,(dari kelas) من فصل.
Dalam Jumlah ismiyah terdapat kaidah-kaidah yang pembahasannya sangat panjang dan mendetail.
a. Dibaca Rofa’
Tanda Rofa’ pada Isim adalah dhommah, wawudan alif
Contoh:البَيْتُ صَغِيْرٌ rumah itu kecil), al muslimuuna mahiiruunaالمُسْلِمُوْنَ مَهِيْرُوْنَ ( orang-orang muslim itu pintar), al tholibaani ‘alimaaniالطَالِبَانِ عَاِلمَانِ ( dua murid itu pintar).
b. Mubtada’ harus berupa Isim Ma’rifat.
Yang di maksud Isim Ma’rifat adalah Isim yang sudah jelas maknanya. Isim ma’rifatbisa berupa:
c. Isim alam ( nama sesuatu)
Contoh: ahmadun اَحْمَدٌ( nama orang), Indonesia اِنْدُوْنِيْسِيَا ( nama Negara), baitunبَيْتٌ ( namatempat)
d. isim dhomiir
Isim dhomiir yang bisa menjadi mubtada ’hanyalah isim dhomir yang munfasil yaitu:
ü هو (dia Laki-laki 1),
ü هما ( dia laki-laki 2),
ü هم ( mereka laki-laki banyak),
ü هي ( dia perempuan 1)
ü هما ( dia perempauan 2),
ü هنّ ( mereka pr),
ü انت ( kamu laki-laki 1),
ü انتما ( kamu laki-laki 2),
ü انتم (kalian laki-laki),
ü انت (kamu 1 perempuan),
ü انتما (kamu 2 perempuan),
ü انتنّ ( kalian perempuan),
ü انا (saya),
ü نحن ( kami / kita).
Contoh: هُوَ طَوِيْلٌ( dialaki-laki 1 tinggi), اَنْتَ مُدَرِسٌ (kamu laki-laki 1 guru)
e. Isimyang kemasukan al
Contoh: الفصل جميل( kelas itu indah)
f. Khobarberupa isim nakiroh
Isim nakiroh adalah isim yang maknanya tidak jelas atau masih umum.Tanda isim nakiroh adalah adanya tanwin.
Contoh:
) البِلَاطَ نَظِيْفٌ lantai itu bersih)
g. Mubtada’ dan khobar harus bersesuaian dalam hal muannas dan muzakar serta mufrod, musanna dan jama’nya.
Contoh;
فَاطِمَةُ جَمِيْلَةٌ (fathimah itu cantik) زَيْدٌ جَمِيْلٌ( zaid itu ganteng)الكرة صغيرة ( bola itu kecil ) التلميذان ماهران (murid dua itu pintar) الطالبون ضاحكون ( murid-murid itu adalah orang-orang tertawa).
2. Jumlah Fi’liyah
Jumlah fi’liyahmenurut bahasa terbagi menjadi dua kalimat, yaitu: jumlah yang artinya kalimat dan fi’liyah diambil dari kata fi’il dan ya’ nisbah. Adapun fi’il (kata benda)artinya al-hads (kejadian, peristiwa) dan menurut istilah artinya kata yang menunjukkan suatu makna dan terikat dengan tiga masa yaitu masa lampau, sekarang dan yang akan datang.
Sedangkan menurut istilah jumlah fi’liyah adalah:
هي التي تبدأ بفعل وتكون مركبة من فعل وفاعل أو من فعل ونائب فاعل
“Jumlah fi’liyah adalah kalimat yang dimulai (diawali) dengan fi’il (predikat) dan tersusun dari fi’il dan fa’il (subjek) atau fi’il(kata kerja) dan naibul al-fa’il”.[5]
Kaidah-kaidahnya terdiri dari fi’il dan fa’il yang terkadang membutuhkan maf’ulyang disebut sebagai fi’il muta’addi dan terkadang pula tidak membutuhkannya yang disebut sebagai fi’il laazim karena maf’ulbukanlah syarat mutlak terbentuknya jumlah fi’liyah. Juga terdiri dari fi’il dan naibul fa’il, fi’ilnya dinamakan sebagai fi’il majhul(intransitive).
Selanjutnya kita akan mencoba membedah mengenai fa’il dan naibul fa’il yang keduanya erat kaitannya dengan jumlah fi’liyah.
a. Fa’il
Pengertian fa’il (subjek) adalah isim yang menunjukkan orang yang mengerjakan suatu pekerjaan dan kedudukannya dalam I’rabadalah marfu’. Sedangkan menurut pendapat lain mengartikan fa’il menurut istilah adalah isim marfu’ yang fi’ilnya disebutkan sebelumnya. Kemudian dijelaskan oleh Muhyiyuddin bin Abdul Hamid didalam kitabnya At-tuhfah As-saniyahbahwasannya fa’il secara global (umum) terbagi menjadi dua, yaitu: Isim Sharih dan isim muawwal bi ash-sharih.Isim Sharih terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Isim dzahir
Ialah isimyang menunjukkan maknanya tanpa membutuhkan qarinah (indikasi yang lain, misalnya:
الفعل المضارع الفعل الماضي
يجلس أحمد جلس أحمد
يجلس الصديقان جلس الصديقان
يجلس المسلمون جلس السلمون
يجلس الأصدقاء جلس الأصدقاء
تقوم المسلمة قامت المسلمة
2) Isim mudhmar
Ialah isim(kata benda) yang tidak menunjukkan maksudnya melainkan dengan bantuan qarinah(indikasi) takallum, khithab dan ghaibah
b. Naibul Fa’il
Naibul Fa’il Ialah Isim marfu’ yang tidak disebutkan fa’ilnya.Dalam suatu jumlah (kalimat) seharusnya membutuhkan fi’il (predikat), fa’il (subjek) dan maf’ul bih (objek). Akan tetapi, dalam pembahasan ini, kita hanya menggunakan fi’il (predikat) dan naibul fa’il (pengganti fa’il). Maka jumlah (kalimat) aktif yang memenuhi tiga syarat diatas diubah menjadi jumlah (kalimat) pasif yang tidak disebutkan fa’ilnya. Adapun fi’il(subjek) yang digunakan dalam jumlah (kalimat) pasif adalah fi’il majhuldan kaidahnya sebagai berikut:
فـإن كان الفعل ماضيا ضم أوله وكسر ما قبل آخره وإن كان مضارعا ضم أوله وفتح ما قبل آخره
“Jika fi’il madhi maka huruf yang pertamanya didhammahkan dan huruf sebelum akhirnya dikasrahkan. Adapun untuk fi’il mudhari’ maka huruf yang pertama didhammahkan dan difathahkan hurufnya sebelum akhirnya.”
Contoh dari fi’il madhi yang didhammahkanhuruf pertamanya dan dikasrahkan huruf sebelum akhirnya adalah
فُتِح الباب
قُتِل الكافرون
قُرِأت الرسالة
Menurut Ash-shanhaji didalam matan Al-Aajurumiyah, naibul fa’il terbagi menjadi dua macam yaitu dhahir dan mudhmar. Sedangkan menurut Fu’ad Ni’mah naibul fa’il terbagi menjadi empat, yaitu: isim mu’rab, isim mabni, mashdar muawwal dan masdar sharih (dzarfu muttasharif / jar dan majrur).
F. Kesimpulan
Kalimat dalam Bahasa arab adalah ucapan yang tersusun sehingga pendengar atau lawan bicara dapat memahami maksudnya. Sesuai dengan objek pembicaraannya, maka ucapan tersebut harus dalam bahasa Arab. Kalimat terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Isim, yaitu setiap kata yang menunjukkan nama orang, hewan, tumbuhan, benda, tempat, waktu, dan sifat yang tidak terikat oleh waktu, 2) Fi’il, yaitu kata yang menunjukkan kejadian suatu peristiwa pada waktu tertentu, dan 3) Harf adalah kata yang tidak bisa dipahami maknanya kecuali jika disandingkan dengan kata lain.
Jumlah ismiyah adalah Setiap kalimat yang tersusun dari mubtada dan khabardinamakan Jumlah ismiyah.Selain itu Jumlah ismiyah merupakan susunan kalimat yang diawali dengan Isim (kata benda). Jumlah fi’liyah menurut bahasa terbagi menjadi dua kalimat, yaitu: jumlahyang artinya kalimat dan fi’liyah diambil dari kata fi’il dan ya’ nisbah. Adapun fi’il (kata benda)artinya al-hads (kejadian, peristiwa) dan menurut istilah artinya kata yang menunjukkan suatu makna dan terikat dengan tiga masa yaitu masa lampau, sekarang dan yang akan datang.
Pengertian fa’il (subjek) adalah isim yang menunjukkan orang yang mengerjakan suatu pekerjaan dan kedudukannya dalam I’rabadalah marfu’. Naibul Fa’il Ialah Isim marfu’ yang tidak disebutkan fa’ilnya. Dalam suatu jumlah (kalimat) seharusnya membutuhkan fi’il (predikat), fa’il (subjek) dan maf’ul bih (objek). Akan tetapi, dalam pembahasan ini, kita hanya menggunakan fi’il(predikat) dan naibul fa’il (pengganti fa’il).
DAFTAR PUSTAKA
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2003.
Ghaziadin Djupri, Ilmu Nahwu Praktis. Surabaya: Apollo, tth
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab Surabaya: Usaha Nasional, 1992.
Mar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an Jakarta: Penamadani, 2008.
Nikmah Fuadz., Qawaid Al-lughah Al-‘arabiyah, Beirut: Dar Ast-staqafah Al-Islamiyah, tth.
[1] Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hlm. 20.
[2] Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya (Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2003), hlm. 8.
[3] Mar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2008), hlm. 157.
[4] Nikmah Fuadz., Qawaid Al-lughah Al-‘arabiyah, (Beirut: Dar Ast-staqafah Al-Islamiyah, tth), hlmm.. 23.
[5] Ghaziadin Djupri, Ilmu Nahwu Praktis. (Surabaya: Apollo, tth), hlm. 10.
0 komentar: