SIFAT - MAUSUF (مَوْصُوْف - صِفَة)
A. Pendahuluan
Bahasa adalah sesuatu yang tidak tepisahkan dari manusia. Ia mengikuti setiap pekerjaannya, mulai dari bangun, beraktivitas, sampai pada waktu beristirahat. Bahkan di saat tidur pun terkadang seseorang menggunakan bahasanya.[1]
Setiap suku atau bangsa yang ada di alam ini, mempunyai bahasa tersendiri, dan bahasa itulah yang dipakai mereka berkomunikasi. Karenanya, secara internasional, ditemukanlah beberapa macam bahasa, seperti bahasa Inggris, Francis, Jerman, Arab, Indonesia, Melayu, Urdu, dan sebagainya.
ahasa Arab merupakan bahasa Semit dimana memiliki ciri-ciri yang sangat memukau pada umumnya dan bahasa Arab khususnya adalah sistym pola(patron) dan akar katanya secara tipikal yang terdiri atas tiga konsonan pada suatu order tertentu atau memiliki tiga huruf mati yang dibentuk dengan jalan pemasangan rangkaian(afikasi) berupa Awalan, (prefiks) dan akhiran(sufiks) serta perubahan huruf-huruf hidup.[2]
Kaum muslimin telah memahami bahwa bahasa Arab merupakan Bahasa Alquran dan setiap orang muslim yang ingin menyelami ajaran islam yang sebenarnya secara mendalam, maka harus mampu menggali dari sumber asalnya, Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, menurut kaidah hukum Islam, memahami bahasa Arab untuk menggali Alquran secara mendalam hukumnya fardu ‘ain. Yang menisbahkan setiap orang muslim memiliki pengetahuan agar dapat memahami ajaran Islam langsung pada sumbernya. Salah satu masalah yang dihadapi oleh umat Islam non arab termasuk yakni kesulitan mempelajari bahasa Arab.
Bahasa Arab dianggap masalah serius karena materi pelajarannya yang dianggap rumit dan metode pembelajarannya juga serung dianggap sulit.Mengingat pentingnya untuk mempelajari bahasa Arab, maka dengan niat menambah ilmu penulis menyusun makalah dengan judul sifat-mausuf.
B. Pengertian Shifat ( صِفَة ) - Maushuf ( مَوْصُوْف )
Sifat ( الصفة ) ialah kata yang menjelaskan sifat atau keadaan kata benda sebelumnya. Dan kata benda sebelumnya itulah yang disebut dengan al-mausuf ( الموصوف ).[3]Contoh : الطالب الجديد . Kata الطالب adalah mausuf, sedangkan kata الجديد adalah siifat.
بَيْتٌ جَدِيْدٌ | = (sebuah) rumah baru |
اَلْبَيْتُ الْجَدِيْدُ | = rumah yang baru |
بَيْتٌ كَبِيْرٌ وَاسِعٌ | = (sebuah) rumah besar lagi luas |
اَلْبَيْتُ الْكَبِيْرُ الْوَاسِعُ | = rumah yang besar lagi luas |
Dengan melihat contoh di atas, dapat dipahami bahwa al-sifat wa al-mausuf adalah susunan kalimat yang terdiri atas dua kata atau lebih, [4]Bila rangkaian dua buah Isim atau lebih, semuanya dalam keadaan Nakirah (tanwin) atau semuanya dalam keadaan Ma'rifah (alif-lam) maka kata yang di depan dinamakan Maushuf (yang disifati) sedang yang di belakang adalah Shifat.Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antara kedua kata tersebut terdapat pengertian “yang”.[5]
Untuk lebih jelasnya susunan kalimat seperti yang disebutkan di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh :
1. Mahasiswa baru = mahasiswa yang baru ( طالب جديد = الطالب الجديد );
2. Mahasiswi cantik = mahasiswi yang cantik ( طالبة جميلة = الطالبة الجميلة );
3. Guru mulia = guru yang mulia ( استاذ كريم = الاستاذ الكريم );
4. Pegawai rajin = pegawai yang rajin ( موظف مجتهد = الموظف المجتهد ).
Istilah lain dari al-sifat wa al-mausuf adalah al-na’at wa al-man’ut (النعت والمنعوت ). Meskipun istilahnya berbeda, tetapi oprasionalnya sama. Tentang al-na’at, ulama membaginya atas dua bagian, yaitu :
Al-na’at al-haqiqi(النعت الحقيقى) dan Al-na’at al-sababi ( النعت السببى).
Al-na’at yang disebutkan pertama ialah sifat yang menjelaskan keadaan yang disifatinya, contoh : هو ولد نشيط (dia anak yang rajin). Adapun al-na’at yang disebutkan kedua ialah sifat yang menjelaskan keadaan kata lain yang ada hubungannya dengan yang disifatinya, contoh : هو ولد نشيط والده (dia, anak yang rajin ayahnya).[6]
C. Lafazh-Lafazh yang Dijadikan Sifat
Menurut Fuad Ni’mah, sifat (na’at) dapat dibentuk dari tiga hal, yaitu :
1. Isim ¨zhahir, seperti kata عظيمة . Contohnya : القاهرة مدينة عظيمة .
2. Syibh al-jumlah, baik dalam bentuk zharaf maupun jar wa majrur.
Adapun bentuk lafazh yang dijadikan sifat adalah sebagai berikut:
a. Dalam bentuk zharaf, seperti kata فوق . Contohnya :
للحق صوت فوق كل صوت ;
b. Dalam bentuk jar wa majrur, seperti kata من . Contohnya :
نذاع الحان من ورائع النغم .
3. Jumlah ismiyah atau jumlah fi’liyah.
a. Dalam bentuk jumlah ismiyah. Contohnya : مضى يوم برده قارص . Kalimat برده قارص adalah sifat dari kata يوم .
b. Dalam bentuk jumlah fi’liyah. Contohnya : هذا عمل يفيد . Kata يفيد adalah sifat dari kata عمـل .[7]
Ahmar Thib Raya dan Musda Mulia dalam bukunya menyatakan bahwa lafal atau isim yang bisadijadikan sifat ialah isim yang bisa juga dijadikan khabar nubtada’, yaitu :
1. Al-sifat al-musyabbahah. Kata sifat dalam katagori ini meliputi berbagai timbangan, seperti : فعيل , افعل , اسم الفاعل, اسم المفعول, الاسم بياء النسبة . Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan contoh-contohnya :
a. Dalam timbangan فعيل seperti : ضعيف, سمين, كريم ;
b. Dalam timbangan افعل seperti : ابيض, اسود, اصفر ;
c. Dalam timbangan اسم الفاعل seperti : القائم, النائم, الحاضر ;
d. Dalam timbangan اسم المفعول seperti : المكتوب, المقروء, المشروب ;
e. Dalam timbangan الاسم بياء النسبة seperti : عربي, مصري, اسلامي .
2. Isim ‘alam. Contoh : - محمد المصري ; -فاطمة المصرية .[8]
D. Ketentuan Khusus dalam al-Sifat wa al-Mausuf
Terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam menyusun kalimat al-siifat wa al-mausuf. Ketentuan yang dimaksud, meliputi 11 hal, yaitu:
1. Apabila yang disifatinya musakkar, maka sifatnya juga harus musakkar. Contoh : حضر الطالب الجديد .
2. Apabila yang disifatinya muannas, maka sifatnya juga harus muannas. Contoh : حضرت الاستاذة الكريمة .
3. Apabila yang disifatinya nakirah, maka sifatnya juga harus nakirah.
Contoh : - حضر طالب جديد ;
- حضرت طالبة جديدة .
4. Apabila yang disifatinya ma’rifah, maka sifatnya juga harus ma’rifah.
Contoh : - جاء الاستاذ الكريم ;
- جاءت الاستاذة الكريمة .
5. Apabila yang disifatinya tunggal (mufrad), maka sifatnya juga harus tunggal. Contoh : - دخل الرجل السمين ;
- دخلت المرأة السمينة .
6. Apabila yang disifatinya musanna, maka sifatnya juga harus musanna. Contoh : - دخل العميدان الكريمان ;
- دخلت العميدتان الكريمتان .
7. Apabila yang disifatinya jamak berakal, maka sifatnya juga harus jamak. Contoh: - جاء المديرون الكرام ;
- جاءت المديرات الكريمات .
8. Apabila yang disifatinya jamak tidak berakal, maka sifatnya harus tunggal muannas. Contoh : - شربت الجواميس الكبيرة ;
- ضاعت الكتب الجديدة .
9. Apabila yang disifatinya marfu’, maka sifatnya juga harus marfu’.
Contoh : - الموظف المجتهد نشيط ;
- حضرت الموظفة النشيطة .
10. Apabila yang disifatinya mansub, maka sifatnya juga harus mansub.
Contoh : - شربت القهوة الساخنة ;
- تلقيت الهدية الثمينة .
11. Apabila yang disifatinya majrur, maka sifatnya juga harus majrur.
Contoh : - دخلنا على العميد الكريم ;
- اكتب بالقلم الجديد .[9]
Pada pembahasan berikut ini akan dijelaskan kedudukan mausuf dalam susunan kalimat, yang mana i’rab sifatnya mengikuti mausuf-nya. Dalam beberapa keadaan, hubungan antara mausuf dengan sifatnya tetap terpelihara, misalnya :
1. Sifat pada al-mubtada’. Dalam hal ini kedudukan sifat mengikuti mausuf-nya, yaitu marfu’. Contoh : - الطالب الجديد حضر ;
- الطالبة الجديدة حضرت .
2. Sifat pada al-khabar. Kedudukan sifat dengan mausuf-nya sama seperti di atas, yaitu marfu’. Contoh : - هذا كتاب جديد ;
-هذه كتب جديدة .
3. Sifat pada al-fa’il. Sebagaimana halnya dengan al-mubtada’ dan al-khabar, sifat al-fa’il juga mengikuti mausuf-nya dalam bentuk marfu’.
Contoh : - حضر الاستاذ الكريم ;
- حضرة الاستاذة الكريمة .
4. Sifat pada al-maf’ul bih. Dalam hal ini kedudukan sifat mengikuti mausuf-nya, yaitu mansub.
Contoh : - ساعدت الرجل الضعيف ;
- ساعدت الفقيرة الضعيفة .
5. Sifat pada isim majrur. Dalam hal ini kedudukan sifat mengikuti mausuf-nya, yaitu majrur.
Contoh : - نظرت الى العامل القوى ;
- نظرت الى العمال الاقوياء [10]
F. Kesimpulan
Sebagaimana halnya dengan bahasa-bahasa lainnya, bahasa Arab mempunyai kaidah atau tata bahasa tersendiri. Dalam kaidah tersebut, dikenal bermacam-macam isim, dan di antaranya adalah mudhaf-mudaf ilaihi dan siifat-mausuf.
Mudhaf-mudhaf ilaihi atau juga sering diknal dengan idhofah merupakan Rangkaian dua buah Isim atau lebih, dimana satu kata di depannya dalam keadaan Nakirah (tapi tanpa tanwin) dinamakan Mudhaf sedang kata yang paling belakang adalah Ma'rifah dinamakan Mudhaf Ilaih.
Idhofah memiliki syarat yakni mudhaf tidak boleh bertanwin, membuang nun mutsanna dan jamak serta membuang alif lam pada mudhaf. Selain dari pada itu juga terdapat faidah tertentu.
Al-siifat wa al-mausuf atau istilah lainnya al-na’at wa al-man’ut adalah susunan kalimat yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang menunjukkan kepada kata benda, dan kata benda tersebut diikuti kata sifat. Jika kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antara kedua kata dimaksud terdapat kata sisipan “yang”.
Lafal-lafal yang dapat dijadikan kata sifat (menyifati suatu kata benda) ialah : isim zhahir, Syibh al-jumlah, jumlah ismiyah, jumlah fi’liyah, siifat al-musyabbahah, dan isim ‘alam.
Pada umumnya, kedudukan kata sifat dalam susunan kalimat al-siifat wa al-mausuf, selalu mengikuti mausuf-nya. Misalnya, jika mausuf-nya musakkar, maka sifatnya juga musakkar. Sebaliknya, jika mausuf-nya muannas, maka sifatnya juga muannas. Demikian pula apabila mausuf-nya nakirah atau ma’rifah, maka sifatnya juga nakirah atau ma’rifah. Ketentuan ini berlaku pula dalam susunan kalimat dalam bentuk tunggal (mufrad), musanna atau jamak. Terjadi pengecualian dalam susunan kalimat yang mausuf-nya jamak tidak berakal, maka dalam hal ini sifatnya harus mufrad muannas.
G. Rekomendasi
Penulis merekomndasikan agar para pembaca yang budiman senantiasa menambah hirarki keilmuan terutama bahasa, karena bahasa merupakan dasar untuk berkomuikasi, termasuk antara lain adalah bahasa Arab yang juga merupakan bahasa Alquran, sehingga dengan adanya pemahaman tentang bahasa Arab yang tentunya akan menjadi motivasi bagi semua kalangan untuk terus membaca Alquran.
Alquran tidak akan menjadi penghias lemari ataupun dinding di setiap rumah orang-orang muslim, yang nampak elok dengan keindahannya namun tak perna tersentuh dan dibaca oleh pemiliknya. Seolah hanya menjadi bahan seremonial dan pelengkap yang menandakan bahwa pemilik rumah baragama, padahal kedudukan Alquran sebagai petunjuk tidak agi mnempati posisinya, melainkan hanya menjadi perhiasan belaka.
Demikian rekomendasi penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca yang budiman terkhusus bagi penulis, akhirnya kita melangkah bersama dan persembahkan yang terbaik untuk orang-orang yang menyayangi, mengenal dan senantiasa mengiringi langkah ini.
Abu Bakar Muhammad, Tata Bahasa Bahasa Arab : Bagian Fi’il dan Isim – Isim yang Marfu’, Surabaya: Al-Ikhlas, tth
Ahmad Thib Raya dan Musda Mulia, Pangkal Penguasaan Bahasa Arab, Jakarta : PT.Al-Quswa, tth
Fuad Ni’mah, Mulkhaj Qawaid al-Lugah al-‘Arabiyyah, Damsyiq : Dar al-Hikmah li al-Aba’ah wa al-Nasyr, tth.
Hifni Bek Dayyab, dkk. Qawa’idul ‘I-Lughati ‘I- Arabiyah, terj. Chatibul Umam dkk, Kaidah Tata Bahasa Arab, Jakarta ; Darul Ulum Press, 2010
Moh. Saifullah Al Aziz, Metode Pembelajaran Ilmu Nahwu,Surabaya: Terbit Terang, 2005.
Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, al-Tuhfat al-Saniyyah bi Syarh al-Muqaddimah al-Ajrmiyyah, Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.
Samsuri, Analisis Bahasa, Jakarta : Erlangga, 1991.
[1]Samsuri, Analisis Bahasa, (Jakarta : Erlangga, 1991), hlm. 4-5.
[2]Moh. Saifullah Al Aziz, Metode Pembelajaran Ilmu Nahwu,(Surabaya: Terbit Terang, 2005), hlm. 16.
[3]Ahmad Thib Raya dan Musda Mulia, Pangkal Penguasaan Bahasa Arab, (Jakarta : PT.Al-Quswa, tth.), hlm. 64.
[4]Hifni Bek Dayyab, dkk. Qawa’idul ‘I-Lughati ‘I- Arabiyah, terj. Chatibul Umam dkk, Kaidah Tata Bahasa Arab, (Jakarta ; Darul Ulum Press, 2010), hlm. 293.
[5]Ibid., hlm. 64-65.
[6]Abu Bakar Muhammad, Tata Bahasa Bahasa Arab : Bagian Fi’il dan Isim – Isim yang Marfu’, (Surabaya: Al-Ikhlas, tth.), Jilid I, hlm. 250. Pengertian yang sama terdapat juga dalam Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, al-Tuhfat al-Saniyyah bi Syarh al-Muqaddimah al-Ajrmiyyah, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), hlm. 122-123.
[7]Fuad Ni’mah, Mulkhaj Qawaid al-Lugah al-‘Arabiyyah, (Damsyiq : Dar al-Hikmah li al-Aba’ah wa al-Nasyr, tth.), hlm. 52-53.
[8]Lihat Ahmad Thib Raya dan Musda Mulia, Op.Cit., hlm. 78-81.
[9]Lihat Ahmad Thib Raya dan Musda Mulia,Op.Cit., hlm. 66-70. Juga Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, Op.Cit, hlm. 123-1234.
[10]Lihat Ahmad Thib Raya dan Musda Mulia, Op.Cit.,hlm. 71-75.
0 komentar: