ILMU DALAM PERSPEKTIF TASAWUF




A.    Pendahuluan
Ada sebagian orang bertanya, adakah istilah tasawuf pada zaman Rasulullah Saw? Tentu jawabannya tidak ada. Sebab, penamaan cabang-cabang ilmu syariat belum ada pada zaman Rasulullah Saw, tetapi praktek cabang-cabang ilmu tersebut sudah ada sejak zamannya. Ilmu tasawuf dan cabang-cabang ilmu syariat yang lain.
Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu syariat yang mengajarkan pendidikan dan akhlak di jalan Allah Swt. Dalam Mukadimah-nya, Ibn Al-Khaldun menulis, “Ilmu ini (yakni tasawuf) salah satu ilmu syariat baru di dalam agama Islam. Sebenarnya, metode kaum ini (kaum sufi) telah ada sejak masa para sahabat, tabiin dan ulama-ulama penerusnya, sebagai jalan kebenaran dan petunjuk. Inti tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan hubungan dari selain Allah, menjauhi kemewahan dan kegemerlapan duniawi, meninggalkan kelezatan harta dan tahta yang sering dikejar kebanyakan manusia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah.
Telah sering kita mengangkat pembicaraan mengenai tasawuf. Dan telah muncul banyak versi dan persepsi mengenai tema ini. Terhitung sejak kemunculannya yang pertama hingga sekarang ini tak terhitung lagi kelompok/aliran yg mengidentifikasi dirinya sebagai ahli tasawuf.
Untuk itu dalam makalah ini perspektif ilmu dalam tasawuf adalah  bagi generasi ini untuk menjernihkan duduk perkara dan mengembalikan segala sesuatunya pada tempat semula. Di antara cara yg paling selamat adalah dengan cara kita mengambil pendapat dari para ulama yg ahli dalam masalah ini serta mempunyai integritas dan otoritas keilmuan yang sekiranya dapat dipertanggungjawabkan.


B.     Pengertian Ilmu Dalam Pandangan Tasawuf
Ilmu menurut bahasa diartikan dengan pengetahuan dan menurut pakar ushuluddin diartikan dengan pengetahuan yang sesuai dengan realita. Baik menurut bahasa maupun menurut pakar ushuluddin ilmu mempunyai arti yang sangat luas karena mencakup semua ilmu pengetahuan baik yang berhubungan dengan dunia maupun akhirat. [1]
Namun orang sufi mengartikan ilmu lebih sempit lagi yang mencakup ilmu pengetahuan yang diamalkan untuk mencapai keridhaan Allah dengan membersihkan rohani dan membersihkan budi pekerti dari semua sifat yang tercela, menjauhi kemewahan duniawi dan mencontoh kehidupan dan perilaku Rasulullah Saw. Al-Gazali menulis dalam bukunya ”Ihya Ulumiddin” mempertegas pengertian ilmu dalam rangkaian kata-kata yang sederhana ialah ”thariqul akhirah” yakni jalan menuju kehidupan akhirat.

C.    Pembagian  Ilmu Dalam Pandangan Sufi
Batasan pengertian ilmu di atas, ia menolak penggunaan kata ilmu untuk pengetahuan yang bukan untuk kesempurnaan kehidupan akhirat. Ilmu menurut orang sufi terbagi menjadi empat macam ilmu yaitu:
    1. Ilmu syariat
    2. Ilmu thariqat
    3. Ilmu hakikat
    4. Ilmu ma’rifat[2]
Jadi ilmu menurut ahli tasawuf yaitu orang-orang sufi merupakan jalan menuju keridhaan Allah swt dan menuju kesempunaan atau yang disebut dengan insan kamil.
D.    Perspektif Tasawuf Terhadap Ilmu Syariat
1. Pengertian Ilmu Syari’at
Kata syariat menurut bahasa dapat diartikan dengan jalan yang lempang, halan menuju sumber air, nyata dan jelas dan peraturan. Syariat secara umum menurut para fukaha ialah peraturan yang diturunkan Allah kepada para rasul. [3]
Maka berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan syariat Islam ialah peraturan yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw.
2. Pandangan tasawuf terhadap ilmu syari’at
Syariat menurut orang sufi atau orang yang bertasawuf ialah amal-ibadah lahiriyah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.Orang sufi memandang syariat (iabadah) dari sisi hikmahnya, bukan formalitasnya. Ibadah atau syariat mereka bicarakan dari sisi sasarannya, bukan membicarakan syarat rukunnya, sehingga ibadah yang dilaksanakan dapat memberi bekas pada hati dan perkataan. Karena itu, kalau dilihat uraian ibadah menurut orang shufi tentang shalat, kadangkala ditemui ada syarat dan rukun tambahan dari yang ditetapkan oleh para fukaha. dalam shalat lebih ditekankan kepada hikmahnya. [4]
Jadi dalam praktek mencontoh apa yang pernah diperbuat Rasulullah dan para sahabat. Dalam uraian mereka ada hal-hal yang kecil-kecil, niat diperincikan, doa-doa diperbanyak, sehingga uraian shalat menjadi sedemikian rupa, sehingga orang yang kuat imannya saja yang mampu melaksanakannya. Begitu juga mereka berbicara tentang puasa, mereka bagi puasa menjadi puasa awam, puasa khawas, dan puasa khawasul khawas.
Puasa awam misalnya, puasa tubuh, puasa khawas ialah puasa tubuh dan perbuatan, dan puasa khawasul khawas ialah puasa tubuh, perbuatan, dan hati yang menurut orang shufi ialah puasa yang sebenarnya. Dengan demikian, ahlul syariat dan orang yang melaksanakan ibadah dengan penuh hikmah dinamakan ahlul hakikat.

E.     Perspektif Tasawuf Terhadap Ilmu Thariqat.
1. Pengertian thariqat
Kata thariqat berasal dari kata “thariq” yang artinya jalan. [5] Cara atau metode. Cara atau metode dalam melakukan ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan tabiin.[6] Misalnya seorang yang mengajar shalat kepada muridnya, ia menunjuk, membimbing dan memperagakan perbuatan shalat, bagaimana mengangkat takbir, bagaimana bentuk niat yang sah, bagaimana melakukan sujud dan ruku’ sehingga ibadah shalat itu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Maka metode atau cara guru dalam membimbing muridnya dinamakan thariqat.
2. Thariqat menurut ahli tasawuf
Menurut orang shufi semua perintah agama harus dilaksanakan melalui thariqat, tidak cukup hanya keterangan dari Nabi Saw. Kalau tidak dilihat bagaimana cara Rasulullah melaksanakan shalat maka yang melihatnya para sahabat, yang melihat cara shalat sabahat adalah para tabi’in dan seterusnya berlanjut dari satu generasi ke generasi dan akhirnya ditulis oleh para ulama dalam berbagai kitab-kitab fikih. Syariat itu merupakan uraian tentang ibadah, thariqat merupakan pelaksanaan ibadah.
Jadi thariqat menurut ahlu tasawuf adalah sebagai jalan pelaksanaan atau yang lebih dikenal dengan latihan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Hal itu dengan adanya hukum fiqh dan sunnah yang diajarkan oleh ahli fiqih. Dan ilmu thariqat atau yang dalam tasawuf sebagai metode belum dikatakan mencapai tujuan yang sesungguhnya, akan tetapi itu merupakan suatu tonggak estapet yang pertama.
Sedangkan tujuan adalah ilmu hakikat yang merupakan kemantapan jiwa dan ma’rifat merupakan tujuan pokok, yakni pengenakan yang sebenar-benarnya kepada Allah. Al-Qur’an dan Sunnah bukan tidak lengkap, ajaran fikih bukan tidak sempurna, masih diperlukan penjelasan lebih rinci dan bimbingan lebih teratur dan praktis agar pelaksanaan ibadah itu lebih sempurna. [7]
Dalam pengertian ini, arti thariqat masih kurang jelas, karena baru merupakan teori yang mungkin dapat dipergunakan untuk memperdalam syariat sampai kepada hakikat, melalui pelatihan tertentu (maqamat) dan melalui pendidikan jiwa dan akhlak bagi orang yang ingin mencapai kehidupan shufi. Tetapi sesudah abad kelima hijriyah,
Thariqat mempunyai pengertian lain ialah suatu gerakan yang lengkap untuk memberi latihan-latihan rohani dan jasmani di kalangan umat Islam. [8] Thariqat bertujuan untuk mempertebal iman para pengikutnya sehingga tidak ada yang lebih indah dan yang sangat dicintai dalam hidup ini selain Allah dan Rasul-Nya dan puncak kecintaan melepaskan dan melupakan kepentingan pribadi dan melupakan kemewahan dan kemegahan duniawi seluruhnya. Dalam mencapai tujuan itu, manusia harus ikhlas dalam beramal, ia berbuat bukan mengharap balasan dari manusia, dan pula pahala dari Allah tetapi semata menunaikan tugas sebagai manusia, yang memang diciptakan untuk berbakti dan beribadah kepada Allah. Di samping itu manusia berusaha menanamkan ingatan (muraqabah) terus-menerus kepada Allah.[9]
 Dengan melalui ingat kepada Allah, orang akan merasakan bahwa dirinya, segala tindak-tanduknya dilihat, didengar dan diketahui Allah. Dengan demikian timbul rasa takut untuk berbuat sesuatu perbuatan yang tidak diridhai Allah. Dalam hidup ini mereka selalu menghitung-hitung laba rugi amalnya (muhasabah), apakah ternyata amal perbuatan baiknya lebih banyak ia bersyukur kepada Allah dan apabila kurang ia lebih giat lagi beramal kebajikan. Dalam melaksanakan semua itu, nafsu keinginan adalah menjadi penghalang utama dalam menuju tujuan terakhir. Oleh karena itu, bagaimana agar manusia dapat melepaskan dirinya dari ikatan ini, ikatan apa juapun yang selalu merintanginya dalam mencapai tujuan.
Jadi dalam melepaskan diri dari semua ikatan nafsu dan agar terbentuk peribadi yang bebas dari ikatan manusia harus menanamkan rasa rindu (isyq) yang tidak terbatas kepada Allah dan mencintai-Nya (hubb) sehingga kecintaannya kepada Allah melebihi cintanya kepada alam yang ada di sekitarnya.

F.     Perspektif Tasawuf Terhadap Ilmu Hakikat.
Perkataan hakikat berasal dari kata haqq yang artinya kebenaran. Karena itu, ilmu hakekat adalah ilmu untuk mencapai kebenaran. Menurut orang shufi hakikat itu baru akan didapat sesudah memperoleh ma’rifat dan telah menjalani thareqat. Oleh karena itu, yang mula-mula mencari sesuatu dengan ilmunya (ilmu yakin), kemudian baru sampai kepada keyakinan akal dan jiwa atau juga dinamakan ainul yakin maka baru sampai ke hakkulyakin (keyakinan yang sebenarnya). Hakikat menurut orang shufi ada beberapa macam:
a.       Hakikat tasawuf ialah usaha-usaha untuk memutuskan syahwat dan meninggalkan dunia dengan segala keindahannya serta menarik diri dari kebiasaan duniawi.
b.      Hakikat ma’rifat yang tidak lain mengenal asma’ dan sifat Allah dengan sungguh-sungguh dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam setiap suasana. Sedang ma’rifat hakikat tidak dapat dicapai oleh manusia karena tidak ada ilmu pengetahuan yang dapat memperjelas hakikat Allah.
c.       Hakikat al-hakaik. Hakikat ini merupakan puncak dari segala hakikat ialah yang termasuk martabat ahadiyah yakni perhimpunan segala hakikat. Oleh karena itu, dinamakan juga hadratul wujud.[10]
Ada lagi pembagian lain hakikat ini; hakikat muraqabah ialah kewaspadaan seorang dalam memandang Tuhan dengan pandangan itu terjadilah dalam sir (perasaan) bahwa Allah selalu mengawasi segala gerak geriknya dan hatinya. Hakikat muhasabah terhadap Tuhan ialah senantiasa memperhitungkan segala amal yang diperbuatnya dari sisi untung dan ruginya dan selalu berusaha menutup kerugian itu dengan memperlipatgandakan amal kebajikannya. Hakikat wilayah ialah menyerahkan seluruh hidupnya kedalam pemeliharaan Tuhan dan perlindungan-Nya. Dan hakikat iradah ialah menempatkan iradahnya (kehendak-Nya) ke dalam iradah Allah dengan demikian hatinya tergerak dalam mencari Tuhan. [11]
Jadi menurut orang sufi orang yang telah mempunyai keinginan yang lahir dari dirinya dan hanya mempunyai satu iradat(kehendak) ialah hanya Tuhan semata. Orang shufi mengatakan bahwa dalam tingkat fana atau dalam keadaan lenyap segala rasa, barulah ia memperoleh ma’rifah (mengenal) Allah dengan mata hatinya dan memperoleh pengenalan sampai ketingkat hakul yakin. Karena dengan itulah tersingkap tabir yang selalu menutupi (kasyful mahjub) yang membatasi antara manusia dengan Tuhan.
Jadi dikatakan bahwa syariat itu engkau sembah akan Allah yakni engkau mengikut perintah Allah menjauh diri dari melanggar larangan Allah dan thareqat engkau saja (tuntut) Allah dengan ilmu dan amal, yaitu apa yang engkau ketahui dan hakikat itu yaitu faedah dari keduanya yaitu engkau pandang Allah dengan cahaya yang dipertaruhkan Allah dalam hatimu.
Haqqulyakin hanya dapat dicapai di dalam fana, yaitu sesudah melalui dua tahap, ilmu yakin dan ainulyakin. Demikian apabila thareqat dijalankan dengan segenap kesungguhan dan setia memegang syaratnya akhirnya bertemu dengan hakikat. Dalam perjalanan thareqat mula-mula yang dicapai kasyaf yaitu terbuka hijab yang selalu menutupi hubungan manusia dengan Tuhannya. Hijab yang memisahkan manusia dengan Tuhan adalah hawa nafsu dan kebendaan ini maka untuk menyingkap tabir hijab itulah gunanya tajarrud (melepaskan ikatan diri) dan apabila rohani telah sampai ke tingkat kesempurnaan tunduklah jasmani kepada kehendak rohani.

G.    Perspektif Tasawuf Terhadap Ilmu Ma’rifah.
Ma’rifah artinya pengenalan dengan secara yakin dan ia merupakan ujung semua ilmu pengetahuan. Orang yang mempunyai ma’rifah dinamakan “arif” kumpulan pengetahuannya tentang syariat dengan kesetiaannya menempuh hakikat dinamakan ma’rifat. Karena itu dapat dikatakan kumpulan pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal ibadah, keindahan, dan kecintaan kepada Allah dinamakan ma’rifat.
Ahlis sufi membagi ilmu ma’rifah menjadi dua macam:
1.      Ilmu adnaialah ilmu pengetahuan yang didapat dengan perantaraan belajar seperti membaca dan menulis
2.      Ilmu Laduni ialah ilmu pengetahuan yang dicapai tidak melalui belajar tetapi semata kurnia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya, baik sebagai orang yang arif, muhakik dan saleh maupun shufi.[12]
Oleh karena itu, barangsiapa yang menempuh jalan tasawuf dan telah mempelajari dan mengamalkannya, niscaya ia akan sampai kepada tujuan yaitu, ma’rifah, ilmu ma’rifah dari Allah dan dianugerahkannya kepada orang yang dikehendakinya secara langsung. Menurut orang shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan sufi yang mereka namakan maqamat seperti hidup zuhud dan ibadah dan barulah tercapai ma’rifat.
Dalam pendidikan sufi ini terdapat pendidikan dasar takhalli yakni membersihkan diri dari sifat yang tercela, tahalli mengisi jiwa dengan sifat yang terpuji yang sudah kosong dari sifat yang tercela dan kemudian tajalli ialah nampak dan jelas baginya kebesaran dan keagungan Tuhan dan terlihatlah segala yang gaib. Pendidikan yang seperti ini diambil dari kisah Isra’ dan Mi’raj. Pertama Jibril membedah dada dan mengeluarkan darah hitam dari dalam hati itulah yang mereka namakan takhalli, kemudian Jibril menuangkan ilmu, yakin dan Islam ke dalam dada Rasulullah itulah yang mereka namakan tahalli dan kemudian Rasulullah dibawa oleh Jibril Isra dan Mi’raj untuk menghadap dan bertemu Allah dan itulah yang mereka namakan tajalli dengan bertemu (liqa) dan melihat (ru’yah) zat Tuhan yang Maha Agung.

H.    Perbedaan Antara Ilmu Syari’at, Thariqat dan Hakikat
Qusyairi menerangkan perbedaan antara syariat dan hakikat yaitu bahwa syariat itu adalah kesungguhan dalam ubudiyah sedang hakikat itu adalah musyahadah rububiyah atau melihat rububiyah dengan mata hati. Dalam thareqat orang memperbaiki ibadah dan dalam hakikat orang memperhalus kehidupan
Ilmu syari’at hanya pada hal-hal yang bersifat jasmaniah saja atau dikenal dengan ilmu fiqh. Ini merupakan dasar-dasar yang perlu sekali sebagai metode menuju ridha Allah.
Ilmu thariqat merupakan tata cara pengamalannya guna sebagai jalan menuju hakikat dengan sampainya pada hakikat maka, hal tersebut akan menuju yang disebut dengan ilmu ma’rifat. 

I.       Kesimpulan
Jadi pembagian ilmu menurut perspektif tasawuf menjadi ilmu syariat, thareqat, hakikat dan ma’rifat didasarkan kepada kemampuan manusia, dalam mempelajari dan mengamalkannya, namun menurut mereka semua harus dipelajari. Hubungan antara syariat dan hakikat menurut orang shufi erat sekali, sehingga lahir dalam ungkapan mereka, ma’rifat seperti buah kelapa, ilmu syariat merupakan bagian kulit luar, ilmu thareqat merupakan isi buah kelapa, hakikat merupakan minyak kelapa yang dicari yang dapat dijadikan sebagai obat dan kegunaan lainnya.
Ilmu syariat dan hakikat adalah dua ilmu yang berjalin menjadi satu yang tidak dapat dipisahkan karena itu ilmu syariat merupakan landasan (pondamen) sedang ilmu hakikat merupakan tujuan karena itu orang shufi mengatakan:
الشريعة بلا حقيقة عاطلة والحقيقة بلا شريعة باطلة
Artinya: “syariat tanpa (disertai) dengan hakikat hampa dan hakikat tanpa (disertai) dengan syariat batil”.

Syekh Abdul Kadir Jailani berkata:

كل حقيقة لا تؤيدها الشريعة فهي زندقة
Artinya: “setiap hakikat yang tidak dikuatkan dengan syariat maka ia zindik”
Junaidi al-Bagdadi berkata:

من تفقه بغير تصوف فقد تفسق ومن تصوف بغير تفقه فقد تزندق ومن جمع بينهما فقد تحقق
Artinya: “Barangsiapa yang belajar fikih tidak mengetahui tasawuf maka fasik, barangsiapa yang belajar tasawuf tanpa belajar fikih maka sesungguhnya ia zindik dan barangsiapa yang belajar kedua-duanya maka sesungguhnya ia yang benar”.

Jadi ilmu menurut perspektif tasawuf adalah ilmu yang bersifat spiritual dan gunanya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt guna mencari cinta dan manisnya iman.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat Lubis. Posted July 30th, 2008 Tasawuf Dalam Pandangan Islam http://one. indo skripsi .com /click/4279/0. (diakses tanggal 13 Oktober 2009).
Kang Kolis. Pengertian Ilmu Tasawuf. http:// kang-kolis. blogspot. Com /2009/01/pengertian-ilmu-dalam-tasawuf_08.html. (diakses tanggal 13 Oktober 2009).
Muhammad Fajri. Sumber Majalah Almuslimun No. 311 Tahun. XXVI Ramadhan/Syawal 1416 H Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia. (http://blog.re.or.id/perbedaan-pokok-antara-islam-dan-tasawuf.htm).
Rosihan Anwar, dan. Mukhtar Solihin, Ilmu Tsawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Sholeh Fauzan. Hakekat Sufi& Sikap Kaum Sufi Terhadap Prinsip Ibadah Dan Agama. Lihat juga Ibnu Taimiyah. Riasah Aammah Lil Ifta’Al-Ubudiah,, hal. 90,  .
A.W, Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Krafiyah, 1994.
Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah, 1954.
Asmaran A.S. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. 




[1]Muhammad Fajri. Sumber Majalah Almuslimun No. 311 Tahun. XXVI Ramadhan/Syawal 1416 H Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia. (http://blog.re.or.id/perbedaan-pokok-antara-islam-dan-tasawuf.htm).
[2] Hidayat Lubis. Posted July 30th, 2008 Tasawuf Dalam Pandangan Islam http://one. indo skripsi .com /click/4279/0. (diakses tanggal 13 Oktober 2009).
[3]Hidayat Lubis. Ibid
[4] Sholeh Fauzan. Hakekat Sufi& Sikap Kaum Sufi Terhadap Prinsip Ibadah Dan Agama. Lihat juga Ibnu Taimiyah. Riasah Aammah Lil Ifta’Al-Ubudiah,, hal. 90,  .
[5] Munawwir, A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Krafiyah, 1994), hlm. 910.

[6]Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 3.
[7] Ibid, hlm. 22
[8]Asmaran A.S. Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 242. 
[9] Kang Kolis.Pengertian Ilmu Tasawuf. http://kang-kolis.blogspot.com/2009/01/pengertian-ilmu-dalam-tasawuf_08.html. (diakses tanggal 13 Oktober 2009).
[10] Ibid  
[11] Rosihan Anwar, dan. Mukhtar Solihin, Ilmu Tsawuf.( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm.14
[12] Kang Kolis.Pengertian Ilmu Tasawuf. Op.cit.

0 komentar: