I’RAB DAN BINA’ الاعرب و البناء

 


A.    Pendahuluan

Bahasa Arab adalah bahasa utama bagi umat Islam di samping bahasa yang lain sebagai penunjang. Hal ini karena sumber ajaran Islam semuanya berbahasa Arab, yang harus dimengerti dan dipahami oleh semua penganutnya.

Bahasa Arab merupakan bahasa Al-Qur’an. Seseorang tidak akan dapat memahami kitab dan sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap permasalahan agama.

Tidak perlu diragukan lagi, memang sepantasnya seorang muslim mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah ta’ala:

 إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”(QS. Yusuf: 2)

Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Jadi, memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Dan kajian tentang sebuah bahasa terutama bahasa Arab bagi Umat Islam menjadi satu hal yang sangat krusial.

Juwairiyah Dahlan mengatakan bahwa mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci al-Quran bagi kaum muslimin di dunia ini merupakan kebutuhan yang amat utama. Di samping itu mempelajari bahasa Arab artinya memperdalam pemahaman agama Islam dari sumbernya yang asli.[1] Saran dan kritik konstruktif pembaca selalu penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.

B.     I’RAB

1.      Pengertian I’rab

Adapun i’rab (الإعراب) secara literal merupakan bentuk mashdar dari a’raba yang berarti menyatakan, mengemukakan, atau mengarabkan. Adapun dalam ranah ilmu nahwu, i’rab adalah perubahan yang terjadi pada akhir kalimat (kata -pen) disebabkan masuknya yang memerintah (‘amil) atau karena perbedaan jabatan dalam struktur kalimat sempurna.[2]

Apabila kata-kata tersusun dalam bentuk kalimat maka sebagiannya ada yang berubah harakat huruf akhirnya, disebabkan oleh perbedaan kedudukannya di dalam kalimat karena perbedaan `amil yang mendahuluinya. Dan sebagiannya ada yangtidak berubah huruf akhirnya, walaupun beberapa `amil yang mendahuluinya berbeda-beda. Maka yang pertama - yang mengalami perubahan - dinamakan mu`rabdan yang kedua - yang tidak mengalami perubahan - dinamakan mabni. Maka i`rabadalah bekas yang ditimbulkan oleh `amil pada akhir kata, sehingga akhir kata tersebut marfu`, mansub, majrur atau majzum, tergantung `amil yang masuk pada kata tersebut.[3]

Mahmud Husaini Maalah mengatakan bahwa i`rabadalah berubahnya harakat akhir kalimat dari rafa` ke nasab atau ke jar, tergantung posisinya dalam kalimat.[4] Sejalan dengan pendapat di atas, Salimuddin A. Rahman dkk. Juga mengatakan bahwa i`rab adalah perubahan akhir kata baik harakat maupun huruf yang berfungsi untuk menunjukkan kedudukan kata itu sendiri dalam suatu kalimat.[5]

Sedangkan Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari al-Ahdali dalam al-Kawakib al-Durriyah (Syarah Matan al-Ajrumiyah), mengatakan bahwa :

الإعرب هو تغيير أواخر  الكلم  لإختلاف  العوامل  الداخلة  عليها  لفظاأو تقديرا

Artinya: I`rab adalah berubahnya akhir kalimat (kata) karena berbedanya `amil yang masuk baik secara lafzhi maupun taqdiri.[6]

Dari kalimat di atas, nampak bahwa kata hilal pertama berbaris dhommah (marfu`)karena berposisi sebagai fa`il. Sedangkan kata hilalyang kedua berbaris fathah (mansub) karena berposisi sebagai maf`ul bih dan pada kata hilal ketiga berbaris kasrah (majrur)karena dimasuki oleh huruf jar.

2.      Pendapat Ahli Tentang I`rab

Perbedaan pendapat ahli nahu tentang i`rab berkisar seputar pertanyaan;  Apakah harakat yang ada pada akhir kalimat (kata) merupakan tanda beragamnya makna?. Atau ia merupakan bagian dari kalimat itu sendiri?.

Para ahli nahu Arab – kecuali Abu Ali Muhammad Bin Mustanir, yang dikenal dengan Quthrub (w.206H) – berpendapat bahwa harakat pada i`rab menunjukkan pada makna yang berbeda, yang tergambar pada isim, fa`il, maf`ul bih, idhafah dan sebagainya.[7]

Az-Zujaji berkata: Asal i`rab itu ada pada isimdan asal bina ada pada fi`il dan huruf. Karena i`rabsesungguhnya masuk ke dalam kalimat untuk membedakan antara fa`il dangan maf`ul, malik dengan mamluk, mudhaf dan mudhaf ilaih. Semua itu merupakan gambaran isim yang punya beberapa makna dan itu tidak terjadi pada fi`il-fi`il dan tidak juga pada huruf.[8]

Ibn faris juga berkata: adapun i`rab bertujuan untuk membedakan makna, sehingga tercapai tujuan yang diinginkan pembicara. Apabila kita berkata dengan ungkapan ما أحسن زيد  tanpa i`rab, maka tidak akan terwujud pesan yang disampaikan. Tetapi apabila dikatakan:

ما أحسن زيدا أو ما أحسن زيد أو ما أحسن زيد؟

Dijelaskan dengan i`rab tentang makna yang diinginkannya. Dan inilah yang dilakukan orang Arab dalam menyampaikan maksudnya, mereka memberikan pemahaman yang berbeda melalui harakat dan lainnya.[9]

Contoh kalimat berikut ini, apabila suatu kalimat tidak memakai i`rab maka akan memberikan makna yang beragam. Tetapi apabila kalimat tersebut menggunakan i`rab maka akan nampak jelas makna yang dimaksud.

أكرم الناس محمد / أكرم الناس محمد / أكرم الناس محمد/ أكرم الناس محمد!

Adapun Quthrub punya pandangan sendiri tentang harakat ini. Menurutnya harakat merupakan bagian dari kalimat, untuk membebaskan (menghindarkan) kalimat apabila bertemu dua huruf yang sukun, ketika menyambung kalimat. Dia berkata: “sesungguhnya kalam Arab itu beri`rab, karena isim pada kondisi waqaf (berhenti) biasanya sukun. Walaupun disambung dia juga akan disukunkan. Karena biasanya isim itu sukun baik dalam keadaan berhenti maupun bersambung...., kalaupun akan diberi harakat maka itu hanyalah sebagai akibat dari sukun.[10]

Ini adalah pendapat Quthrub, dan tidak ada pendapat sebelumnya – sebagaimana yang kita ketahui – dan tidak ada yang mengikuti pendapatnya baik dari kalangan linguis maupun ahli nahu. Sampai pada akhirnya pendapatnya ini mempengaruhi pola pikir Ibrahim Anis.

Dan setelah Ibrahim Anis mempelajari bahasa Arab dan lahjahnya secara terinci dan mendalam. Lalu ia tampil dengan pandangan (pendapat) baru dalam menjelaskan indikasi i`rab bahasa Arab. Di antara pandangannya adalah sebagai berikut:

1.      Harakat i`rab itu tidak bisa dijadikan dalil. Jadi harakat i`rab tidak menunjukkan fa`il, maf`ul, idhafah dan sebagainya.

2.      Harakat-harakat itu untuk membebaskan (menghindarkan) kalimat apabila bertemu dua huruf yang sukun ketika menyambung kalimat.

3.      Ada dua tanda yang masuk dalam membatasi harakat ketika bertemu dua huruf yang sukun. Pertama, pengaruh sebagian huruf terhadap harakat secara jelas, seperti pengaruh huruf halaq terhadap baris fathah. Kedua, kecenderungan kepada harakat yang sejenis secara berurutan, atau disebut juga dengan Vowel Harmony.

4.      Para ahli Nahu klasik mendengar harakat tetapi mereka salah dalam menafsirkannya apakah itu berbentuk fa`il atau maf`ul dan lain-lain. Dan ketika tidak ditemukan harakat untuk menyambung beberapa kalimat.

5.      Ketika para ahli nahu yakin bahwa harakat merupakan i`rab, mereka memberi harakat akhir kata yang tidak ada harakatnya, untuk pengembangan qawaid. Seperti ungkapan mereka : Arrajulu Qaim dengan dhommahlam pada kata Arrajulu. Padahal cukup dengan mengatakan Arrajul Qaim dengan sukun pada huruf lam, ketika tidak ada dharurah yang membutuhkan harakat.

6.      Ada kondisi-kondisi yang tidak butuh kepada harakat akhir kata, seperti yang ada pada nasar dan syiir.

7.      Adapun kalimat yang mu`rab dengan huruf, setiap qabilah punya perbedaan masing-masing, tetapi para ahli nahu mengeneralisirmasalah ini.[11]

Ini adalah pandangan (pendapat) Dr. Ibrahim Anis dalam menjelaskan i`rab bahasa Arab fusha. Ibrahim Anis mengatakan bahwa kamu tidak akan mampu untuk menjelaskan perbedaan lahjah Arab ketika berhenti (waqaf). Seperti lahjah Azd as-Sirah, orang-orang yang apabila mereka waqaf selalu marfu`. Mereka mengucapkan dengan dhommah dan memanjangkannya, seolah-olah ada waw. Dan apabila kasrah, mereka membaca kasrah dengan panjang, seolah-olah ada ya. Contoh:  هل جاءخالد ؟ وهل مررت بخالد؟

Mereka membaca خالد  dengan خالدو. Dan membaca خالد dengan خالدى, ketika mereka ingin waqaf. Ibrahim Anis adalah orang yang termasuk meragukan hakikat i`rabselain Quthrub. Sebagaimana yang sudah disinggung di awal bahwa Quthrub berpendapat bahwa i`rab tidak masuk ke dalam bahasa Arab sebagai dalil untuk membedakan makna. Sesungguhnya dia hanya masuk secara takhfifi ke dalam lisan. Dan kita melihat bahwa para linguist menolak pendapat ini, dan tidak ada satupun di antara mereka yang menerimanya.

3.      Rukun I`rab

Dalam i`rabmesti ada empat hal atau yang disebut juga dengan rukun i`rab, yaitu: [12]

a.       ``Amil, yaitu yang memberi hukum pada salah satu tanda i`rab. Seperti huruf jar yang memajrurkan isim atau huruf jazamyang menjazamkan fi`il mudhari`

b.      Ma`mul, yaitu kalimat yang dipengaruhi oleh ``amil atau yang memiliki tanda i`rab.

c.       Mauqi`, bayan tentang posisi kalimat - maudhi` al-i`rab - seperti fa`il atau maf`ul bih atau majrur.

d.      `Alamah, harakat yang ada pada ma`mul.

Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh ini الصبر لن ينفذ Kata yanfazu adalah fi`il mudhari` (ma`mul) yang mansub dengan lan (`amil). Dan tanda nashabnya adalah fathah(alamah) zhahirah di akhirnya. dan jumlah fi`liyahtersebut menempati posisi rafa` (mauqi`) karena khabar dari mubtada.

4.      Macam-Macam I`rab

I`rab ada empat macam, yaitu:[13]

a.       Rafa`, Adapun rafa` mempunyai empat tanda, yaitu Dhommah, Wau, Alif  dan Nun.

b.       Nasab,Adapun Nasab mempunyai lima tanda, yaitu Fathah, Alif, Kasrah, Yadan Hazaf Nun.

c.       Jar / Khafadh, Adapun Jar/Khafadhmempunyai tiga tanda, yaitu Kasrah, Ya dan Fathah

d.      Jazam,Adapun Jazam mempunyai tiga tanda, yaitu Sukun, Membuang huruf akhir dan Membuang Nun.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut :

الإعراب (هو تغيير أواخرالكلم لإختلاف العوامل الداخلة عليها لفظا أو تقديرا)

الرفع

الضمة  

الإسم المفرد

جمع التكسير

جمع المؤنث السالم

الفعل المضارع الذى لم يتصل بأخره شيئ

الواو

جمع المذكر السالم

الأسماء الخمسة وهى أبوك, أخوك, حموك, فوك, ذومال

الألف

تثنية الأسماء

النون

الفعل المضارع إذااتصل به ضمير تثنية أو ضمير جمع أو ضمير المؤنثة المخاطبة

النصب

الفتحة

الإسم المفرد

جمع التكسير

الفعل المضارع إذا دخل عليه ناصب ولم يتصل بأخره شيئ

الألف

الأسماء الخمسة وهى أباك, أخاك, حماك, فاك, ذامال

الكسرة

جمع المؤنث السالم

الياء

التثنية

الجمع

حذف النون

الأفعال الخمسة التى رفعها بثبات النون

الخفض

الكسرة

الإسم المفرد المنصرف

جمع التكسير المنصرف

جمع المؤنث السالم

الياء

الأسماء الخمسة

التثنية

الجمع

الفتحة

الإسم الذى لا ينصرف

الجزم

السكون

الفعل المضارع الصحيح الأخر

الحذف

الفعل المضارع المعتل الأخر

الأفعال التى رفعها بثبات النون

 

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa :

1.      Kata benda tunggal (Isim Mufrad), i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan dhammah

-          dinashabkan dengan fathah

-          dikhafadkan atau dijarkan dengan kasrah

2.      Kata benda jamak yang tidak beraturan (jamak taksir), i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan dhammah

-          dinashabkan dengan fathah

-          dikhafadkan atau dijarkan dengan kasrah

3.      Kata benda jamak perempuan (Jamak Muanas Salim), i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan dhammah

-          dinashabkan dengan kasrah

-          dikhafadkan atau dijarkan dengan kasrah

4.      Kata benda yang menunjukkan dua (Isim Musanna), i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan alif

-          dinashabkan dengan ya

-          dikhafadkan atau dijarkan dengan ya

5.      Kata benda jamak laki-laki (Jamak Muzakkar Salim), i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan waw

-          dinashabkan dengan ya

-          dikhafadkan atau dijarkan dengan ya

6.      Kata benda yang lima (al-Asma al-Khamsah), i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan waw

-          dinashabkan dengan alif

-          dikhafadkan atau dijarkan dengan ya

7.      Lima pola kata kerja mudhari` (al-Af`al al-Khamsah), i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan nun

-          dinashabkan dengan membuang nun

-          dijazamkan dengan membuang nun

8.      Kata kerja mudhari` yang ujungnya tidak bertemu dengan dhamir tasniyah, ya muannas mukhatabah, nun taukid saqilah, nun taukid khafifah, i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan dhammah

-          dinashabkan dengan fathah

-          dijazamkan dengan sukun

9.      Kata kerja mudhari` yang ujungnya huruf ilat, i`rabnya adalah:

-          dirafa`kan dengan taqdiri

-          dinashabkan dengan taqdiri

-          dijazamkan dengan membuang huruf ilat.

 

5.      Pembagian I`rab

I`rab terbagi kepada beberapa bagian,[14] yaitu :

a.     I`rab Lafzhi (إعراب لفظى ) Yang dimaksud dengan i`rab lafzhi adalah bekas yang nyata pada akhir suku kata yang disebabkan oleh `amil. I`rab lafzhi terdapat pada kata-kata yang dapat dii`rab, yang huruf akhirnya tidak berupa huruf `ilat (bukan mu`tal akhir) Contoh: يكرم الأستاذ المجتهد

b.     I`rab Taqdiri  إعراب تقديرى))Yang dimaksud dengan i`rab taqdiri adalah bekas yang tidak kelihatan pada akhir kata yang disebabkan oleh adanya `amil. Maka harakatnya menjadi diperkirakan karena harakat tersebut tidak dapat dilihat. I`rab taqdiri terdapat pada kata-kata mu`rab yang mu`tal akhir dengan huruf alif, wawu dan ya. Dan pada kata yang mudhaf pada ya mutakallim.

c.     I`rab Mahalli إعراب محلى) ) Yang dimaksud dengan I`rab Mahalli adalah anggapan perubahan yang disebabkan oleh `amil. Maka perubahan tersebut tidak tampak dan juga tidak diperkirakan tanda harakatnya. I`rab mahalli itu terdapat pada kata mabni . I`rab mahalli ini juga terdapat dalam hikayat .Contoh: أكرمت من تعلم

C.    BINA’

1.      Defenisi Bina’

Menurut kitab Audhoh al-Manahij, isim mu’rob adalah

 ما تغير حال حركة حرف أخره لاختلاف العوامل الداخلة عليه لفظا أو تقديرا

berubahnya keadaan huruf akhir dari suatu kata disebabkan amil [factor-faktor] yang mempengaruhinya baik secara eksplisit [lafdzon] atau implisit [taqdiron]’.[15]

Menurut ibn Aqil, isim mu’rob didefinisikan sebagai isim yang terbebas dari keserupaan dengan huruf. ما سلم من شبه الحرف. Sejenis dengan istilah ini, adalah I’rob yaitu perubahan harokat huruf akhir suatu kata [isim, f’il, harf] karena pengaruh dari suatu amil tertentu.[16]تغيير حركة حرف الاخر من كلمة لاختلاف العوامل الداخلة عليها

Dinukil dari buku maqoshid nahwiyyah, bina’ adalah:

البناء هو لزوم أواخر الكلم حالة واحدة لغير عامل واعتلال

Bina’ adalah tetapnya akhir kalimat pada satu keadaan bukan karena amil atau proses I’lal.

Definisi dari al-Gholayaini, menyebutkan:

المبني هو ما يلزم أخره حالة واحدة فلا يتغير وإن تغيرت العوامل التي تتقدمه كهذه وأين ومن وكتب واكتب

Semakna dengan definisi di atas adalah mabni yang selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut, karena term ini lazim dan digunakan dalam buku-buku nahwu, sedang term “bina” lazim digunakan dalam buku-buku shorof.

2.      Klasifikasi isim mabni

Sebelum pengklasifikasian isim yang mabni berikut akan dipaparkan terlebih dahulu sebab-sebab isim tersebut dikategorikan sebagai isim mabni.

1)      Syibh wadh’iy

Keserupaan ini adalah pada asal muasal pembentukan isim. Dalam bentuknya, isim ini ada terdiri dari satu huruf, dua huruf, tiga huruf, empat huruf atau lebih, serupa dengan kalimat huruf yang terdiri dari satu, dua huruf, tiga huruf, empat huruf atau lebih. Yang masuk kategori syibh ini adalah isim dhomir.

Contoh: ه, تَ, تِ, تُ,كَ, كِ, يْ, serupa dengan kalimat huruf: بِ, وَ, تَ,

هو, هم, هي, ها, تم, نا serupa dengan kalimat huruf: في, من, عن

هما, هنّ, أنتَ, أنتِ, أنا, نحن, كما, كنّ serupa dengan kalimat huruf: آيْ, أجلْ, بلى, جَيْر, نعمْ

أنتم  serupa dengan kalimat huruf: حتّى, لولا, لكنّ

انتما, أنتنّ, أيّاكَ, إيّاكِ, إيّاي, إيّاه  serupa dengan kalimat huruf: لَكنّ  dan sebagainya.

 

2)      Syibh ma’nawiy

Keserupaan ini ada pada makna isim. Yaitu maknanya isim serupa dengan maknanya kalimat huruf, baik yang wujud (makna yang serupa tersebut bersifat konkrit dan dapat dikenali) ataupun tidak (tersirat dan hanya dapat diperkirakan).

a.       Makna isim yang serupa wujud (sifatnya konkrit dan dapat dikenali). Yang termasuk kategori ini adalah isim istifham (kata tanya) dan isim syarat.

Contoh:

متى تقوم؟ kapan kamu berdiri?, kata متى ini serupa dengan maknanya أ huruf istifham: أتقوم؟ kapan kamu berdiri?

متى تقوم نقم  jika kamu berdiri maka akupun akan berdiri, kata متى ini serupa dengan maknanya huruf إن شرطية (huruf syarat)

b.      Makna isim yang serupa tidak wujud (tidak tampak dan hanya dapat diperkirakan). Yang masuk kategori ini adalah isim isyaroh (kata tunjuk). Contoh:

هذا, هذه, ذلك, تلك, هؤلاء, هنا dsb. Kata-kata ini (isim isyaroh) mengandung makna yang serupa dengan huruf yang tidak harusnya ada sebagai alat/ sarana untuk menunjukkan arti tunjuk namun dalam kenyataannya tidak ada (tidak wujud).

Makna isyaroh adalah termasuk makna huruf, karena pada umumnya segala makna mempunyai huruf untuk menegaskan makna tersebut, Misalnya makna nahi mempunyai huruf untuk merepresentasikan makna tersebut yaitu لا النهي. Begitu pula makna nafi mempunyai huruf untuk merepresentasikan makna tersebut yaitu ما النفي. Makna ta’kid (penegasan) mempunyai huruf yang merepresentasikan makna tersebut yaitu قد, dan seterusnya. namun khusus dalam makna isyaroh, makna ini tidak terwakili oleh suatu huruf.

 

 

3)      Syibh isti’mali

Keserupaan ini ada pada segi penggunaannya (إستعمال). Yaitu isim ini dapat beramal seperti fiil namun tidak menerima atsar (objek) dari amalnya kata lain. Yaitu tidak seperti isim fail, isim maf’ul, masdar, isim sifat musyabbihah dan isim-isim lain yang dapat beramal seperti fiilnya namun juga dapat menerima atsar amalnya kata lain. Yang termasuk kategori ini adalah isim fiil. Seperti:هَيْهَاتَ الْجَبَلُ, قَتَالٍ زَيْدً

4)      Syibh iftiqoriy

Keserupaan ini ada pada sifatnya isim yang membutuhkan eksistensi kata lain guna melengkapi dan mempertegas makna isim tersebut, hal ini serupa dengan kalimat huruf yang senantiasa membutuhkan kehadiran kata lain untuk menjelaskan maknanya. Yang termasuk kategori ini adalah isim maushul.[17]Contoh: الذي, التي, الذين, اللاتي, اللائي, اللذان, اللتان  

5)      Syibh ihmali

Keserupaan isim dalam sifatnya tidak dapat beramal dan tidak menerima atsar amalnya kata lain. Seperti isim-isim pembuka (fawatih al-suwar) surat dalam Al-Qur an: الم, ن, ق, طسم

6)      Syibh lafdzi

Keserupaan isim yang secara lafadz mirip dengan huruf. Seperti حاشا yang isim mirip dengan حاشا yang huruf.

Secara teringkas, dapat diketahui bahwa isim-isim yang termasuk dalam kategori isim mabni adalah:[18]

a.       Isim dhomir

b.      Isim syarat

c.       Isim istifham

d.      Isim isyaroh

e.       Isim fi’il

f.       Isim maushul

g.      Isim-isim suara

h.      Isim a’lam

i.        Sebagian dhorof

j.        A’lam yang berakhiran eih

k.      Bilangan 11 sampai 19 kecuali 12.[19]

D.    KESIMPULAN

Jadi, perubahan yang disebabkan oleh `amil dinamakan i`rab dan tidak adanya perubahan oleh `amil dinamakanbina. Jadi i`rab adalah suatu perubahan di akhir kata yang terjadi disebabkan oleh masuknya `amil. Maka jadilah harakat akhir dari kata itu dirafa`kan, dinasabkan, dijarkan ataupun dijazamkan, tergantung kepada apa yang dituntut oleh `amil.

Perbedaan pendapat tentang harakat akhir (i`rab) ini bukan hanya terjadi di kalangan ahli nahu dan linguist Muslim, tetapi juga terjadi di kalangan orientalis. Di antara orientalis yang meragukan hakikat i`rab sebelum Anis, ketika mengkaji bahasa Arab fusha terutama karakteristiknya (dalam hal i`rab) yaitu: Karl Vollers dan Paul E. Kahle, Ia berpendapat bahwa teks al-Quran yang asli telah ditulis dengan salah satu lahjah (dialek) suku yang ada di hijaz. Pada teks ini tidak ditemukan adanya i`rab. Sedangkan orientalis yang mengakui adanya i`rab dalam bahasa Arab di antaranya adalah Th. Noldeke dan G. Bergstrasser.

Pada awalnya kalimat isim (kata benda) bersifat mu’rob (berubah karena amil) namun selanjutnya ada beberapa kalimat isim yang keluar dari aturan baku, yakni bersifat mabni (tetap bukan karena amil atau I’lal) karena ada satu keserupaan dengan kalimat huruf (yang bersifat mabni).

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Shohib Khoironi, Audhoh al-Manahij, Jakarta: WCM Press, 2008.

A. Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis, Garut: Ibn Azka Press, 2004.

Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyyah, (terj.) dari judul asli Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2006.

Emil Badi` Ya`qub, Fiqh al-Lughah al-Arabiyah Wakhasaaisuha, Beirut: Daaru al-Saqafah,  al-Islamiyah, tt.

Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, Surabaya: al-Ikhlas, 1992.

M. Sholihuddin Shofwan, Maqosid al-Nahwiyyah, Jombang: Dar el-Hikmah, 2006.

Mahmud Husaini Maalah, An-Nahwu asy-Syafi, Amman, Jordan: Daar al-Bashir, 1991.

Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari al-Ahdali, al-Kawakib al-Durriyah -Syarah Matan al-Ajrumiyah- Juz 1, Semarang: Usaha Keluarga, tt.

Mustafa al-Ghulayaini, Jami` ad-Durs al-Arabiyah, Beirut: al-Maktabah al-`Asriyah, 2000.

Ramadhan Abd at-Tawab, Fushul fi Fiqh al-Lughah, Kairo: Maktabah al-Khanji, 1979.

Salimuddin A. Rahman dkk., Tata Bahasa Arab Untuk Mempelajari al-Quran, Bandung: Sinar Baru, 1990.

[1]Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, (Surabaya: al-Ikhlas, 1992), hlm. 20.

[2]A. Zakaria, Ilmu Nahwu Praktis, (Garut Ibn Azka Press, 2004), hlm. 26.

[3]Mustafa al-Ghulayaini, Jami` ad-Durs al-Arabiyah, (Beirut: al-Maktabah al-`Asriyah, 2000), hlm. 18.

[4]Mahmud Husaini Maalah, An-Nahwu asy-Syafi, (Amman, Jordan: Daar al-Bashir, 1991), hlm. 27.

[5]Salimuddin A. Rahman dkk., Tata Bahasa Arab Untuk Mempelajari al-Quran, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 63.

[6]Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari al-Ahdali, al-Kawakib al-Durriyah -Syarah Matan al-Ajrumiyah- Juz 1, (Semarang: Usaha Keluarga, tt), hlm. 12-13.

[7]Ramadhan Abd at-Tawab, Fushul fi Fiqh al-Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1979), hlm. 371.

[8]Ibid, hlm. 371-372.

[9]Ibid, hlm. 372.

[10]Emil Badi` Ya`qub, Fiqh al-Lughah al-Arabiyah Wakhasaaisuha, (Beirut: Daaru al-Saqafah,  al-Islamiyah, tt), hlm. 132-133.

[11] Ramadhan Abd at-Tawwab, Op.Cit, hlm. 374-375.

[12]Mahmud Husaini Maalah, Op.Cit, hlm. 28.

[13]Mustafa al-Ghulayaini, Op.Cit, hlm. 20-21.

[14]Ibid, hlm. 22-27

[15]M. Sholihuddin Shofwan, Maqosid al-Nahwiyyah, (Jombang: Dar el-Hikmah, 2006), hlm. 68.

[16]Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyyah, (terj.) dari judul asli Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil,(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2006), hlm. 5.

[17]M. Sholihuddin Shofwan, Op.Cit, hlm. 32-34

[18]Ibid, hlm. 35-36.

[19]A. Shohib Khoironi, Audhoh al-Manahij, (Jakarta: WCM Press, 2008), hlm. 62.


0 komentar: